Selasa, 24 Juni 2014

Undang-Undang perindustrian

PENJELASAN
ATAS
UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1984
TENTANG
PERINDUSTRIAN

UMUM

Garis‑Garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa sasaran utama pembangunan jangka panjang adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Di bidang ekonomi, sasaran pokok yang hendak dicapai dalam pembangunan jangka panjang adalah tercapainya keseimbangan antara pertanian dan industri serta perubahan‑perubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia sehingga produksi nasional yang berasal dari luar pertanian akan merupakan bagian yang semakin besar dan industri menjadi tulang punggung ekonomi.
Disamping itu pelaksanaan pembangunan sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial sehingga di satu pihak pembangunan itu tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan sekaligus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin,
Dengan memperhatikan sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi tersebut, maka pembangunan industri memiliki peranan yang sangat penting. Dengan arah dan sasaran tersebut, pembangunan industri bukan saja berarti harus semakin ditingkatkan dan pertumbuhannya dipercepat sehingga mampu mempercepat terciptanya struktur ekonomi yang lebih seimbang, tetapi pelaksanaannya harus pula makin mampu memperluas kesempatan kerja, meningkatkan rangkaian proses produksi industri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan ekspor hasil‑hasil industri itu sendiri.
Untuk mewujudkan sasaran di atas, diperlukan perangkat hukum yang secara jelas mampu melandasi upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan dalam arti yang seluas‑luasnya tatanan dan seluruh kegiatan industri.
Dalam rangka kebutuhan inilah Undang‑Undang tentang Perindustrian ini disusun.
Masalah ini menjadi semakin terasa penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan yang ada hingga saat ini bahwa peraturan‑peraturan yang digunakan bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri selama ini dirasakan kurang mencukupi kebutuhan karena hanya mengatur beberapa segi tertentu saja dalam tatanan dan kegiatan industri, dan itupun seringkali tidak berkaitan satu dengan yang lain.
Apabila Undang‑Undang ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang kokoh dalam upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan dalam arti yang seluas‑luasnya, tidaklah hal ini perlu diartikan bahwa Undang‑ Undang ini akan memberikan kemungkinan terhadap penguasaan yang bersifat mutlak atas setiap cabang industri oleh Negara.
Undang‑Undang Dasar 1945 dan Garis‑Garis Besar Haluan Negara telah secara jelas dan tegas menunjukkan bahwa dalam kegiatan ekonomi, termasuk industri, harus dihindarkan timbulnya "etatisme" dan sistem "free fight liberalism".
Sebaliknya melalui Undang‑Undang ini upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri diberi arah kemana dan bagaimana pembangunan industri ini harus dilakukan, dengan sebesar mungkin memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan secara aktif.
Dalam hal ini, Undang‑Undang ini secara tegas menyatakan bahwa pembangunan industri ini harus dilandaskan pada demokrasi ekonomi.
Dengan landasan ini, kegiatan usaha industri pada hakekatnya terbuka untuk diusahakan masyarakat.
Bahwa Undang‑Undang ini menentukan cabang‑cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, hal ini sebenarnya memang menjadi salah satu sendi daripada demokrasi ekonomi itu sendiri.
Begitu pula penetapan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia.
Dengan landasan ini, upaya pengaturan, pembinaan, dan pengembangan yang dilakukan Pemerintah diarahkan untuk menciptakan iklim usaha industri secara sehat dan mantap. Dalam hubungan ini, bidang usaha industri yang besar dan kuat membina serta membimbing yang kecil dan lemah agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi kuat. Dengan iklim usaha industri yang sehat seperti itu, diharapkan industri akan dapat memberikan rangsangan yang besar dalam menciptakan lapangan kerja yang luas.
Dengan upaya‑upaya dan dengan terciptanya iklim usaha sebagai di atas, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri dalam membangun industri akan semakin tumbuh dengan kuat pula. Dalam hubungan ini, adalah penting untuk tetap diperhatikan bahwa bagaimanapun besarnya keinginan yang dikandung dalam usaha untuk membangun industri ini, tetapi Undang‑Undang inipun juga memerintahkan terwujudnya keselarasan dan keseimbangan antara usaha pembangunan itu sendiri dengan lingkungan hidup manusia dan masyarakat Indonesia.
Kemakmuran, betapapun bukanlah satu‑satunya tujuan yang ingin dicapai pembangunan industri ini.
Upaya apapun yang dilakukan dalam kegiatan pembangunan tersebut, tidak terlepas dari tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia, serta tidak terlepas dari arah pembangunan jangka panjang yaitu pembangunan yang dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Undang‑Undang ini juga menegaskan bahwa upaya dan kegiatan apapun yang dilakukan dalam rangka pembangunan industri ini, tetap harus memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara tidak boros agar tidak merusak tata lingkungan hidup.
Dengan demikian maka masyarakat industri yang dibangun harus tetap menjamin terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkepribadian, maju, sejahtera, adil dan lestari berdasarkan Pancasila.
<COMP NAME=bentuk> UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA</COMP>
NOMOR <COMP NAME=nomor>5 TAHUN 1984</COMP>
TENTANG
<COMP NAME=tentang>PERINDUSTRIAN</COMP>

<COMP NAME=dasar>            DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a.         bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila, serta bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.         bahwa arah pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional adalah tercapainya struktur ekonomi yang seimbang yang di dalamnya terdapat kemampuan dan kekuatan industri yang maju yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh, serta merupakan pangkal tolak bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri;
c.         bahwa untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang ekonomi dalam pembangunan nasional, industri memegang peranan yang menentukan dan oleh karenanya perlu lebih dikembangkan secara seimbang dan terpadu dengan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif serta mendayagunakan secara optimal seluruh sumber daya alam, manusia, dan dana yang tersedia;
d.         bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perindustrian;

Mengingat  :
1.         Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.         Undang-Undang <REFR DOCNM="60uu007">Nomor 7 Tahun 1960</REFR> tentang Statistik (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2048);
3.         Undang-Undang <REFR DOCNM="67uu012">Nomor 12 Tahun 1967</REFR> tentang Pokok-Pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4.         Undang-Undang <REFR DOCNM="70uu001">Nomor 1 Tahun 1970</REFR> tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
5.         Undang-Undang <REFR DOCNM="74uu005">Nomor 5 Tahun 1974</REFR> tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
6.         Undang-Undang <REFR DOCNM="82uu004">Nomor 4 Tahun 1982</REFR> tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
7.         Undang-Undang <REFR DOCNM="82uu020">Nomor 20 Tahun 1982</REFR> tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234);</COMP>

<COMP NAME=teks>            Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dirnaksud dengan :
1.         Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
2.         Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
3.         Kelompok industri adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, yakni kelompok industri hulu atau juga disebut kelompok industri dasar, kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil.
4.         Cabang industri adalah bagian suatu kelompok industri yang mempunyai ciri umum yang sama dalam proses produksi.
5.         Jenis industri adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.
6.         Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.
7.         Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
8.         Bahan mentah adalah semua bahan yang didapat dari sumber daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
9.         Bahan baku industri adalah bahan mentah yang diolah atau tidak diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam industri.
10.       Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang dapat diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
11.       Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
12.       Teknologi industri adalah cara pada proses pengolahan yang diterapkan dalam industri.
13.       Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah.
14.       Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.
15.       Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri lainnya.
16.       Standar industri adalah ketentuan-ketentuan terhadap hasil produksi industri yang di satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi, mutu, dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara mengolah, cara menggambar, cara menguji dan lain-lain.
17.       Standardisasi industri adalah penyeragaman dan penerapan dari standar industri.
18.       Tatanan industri adalah tertib susunan dan pengaturan dalam arti seluas-luasnya bagi industri.

 BAB II
LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI

Pasal 2

Pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 3

Pembangunan industri bertujuan untuk :
1.         meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;
2.         meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, serta memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan industri pada khususnya;
3.         meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha nasional;
4.         meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan industri;
5.         memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan peranan koperasi industri;

BAB III

PEMBANGUNAN INDUSTRI

Pasal 4

(1)       Cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(2)       Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5

(1)       Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan ketrampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia.
(2)       Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industri kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah.
(3)       Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6

Pemerintah menetapkan bidang usaha industri untuk penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.

BAB IV
PENGATURAN, PEMBINAAN,
DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

Pasal 7

Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk:
1.         mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2.         mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3.         mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Pasal 8

Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan industri.

Pasal 9

Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan :
1.         Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri;
2.         Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
3.         Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatankegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya;
4.         Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.

Pasal 10

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi:
1.         keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional;
2.         keterkaitan antara bidang usaha industri dengan sektor-sektor bidang ekonomi lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional;
3.         pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta, dan swadaya masyarakat.

Pasal 11

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja sama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan kerja sama tersebut.

Pasal 12

Untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan.

BAB V
IZIN USAHA INDUSTRI

<TGPT NAME="ps13">Pasal 13

(1)       Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh Izin Usaha Industri.
(2)       Pemberian Izin Usaha Industri terkait dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri.
(3)       Kewajiban memperoleh Izin Usaha lndustri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(4)       Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

(1)       Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan informal industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada Pemerintah.
(2)       Kewajiban untuk menyampaikan informal industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(3)       Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian informal industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1)       Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya.
(2)       Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan, mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri tennasuk pengangkutannya.
(3)       Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya.
(4)       Tata cara penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.








BAB VI
TEKNOLOGI INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI,
RANCANG BANGUN DAN PEREKAYASAAN INDUSTRI,
DAN STANDARDISASI

<TGPT NAME="ps16">            Pasal 16

(1)       Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri.
(2)       Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
(3)       Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Pemerintah mendorong pengembangan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri.

Pasal 19

Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi.

BAB VII
WILAYAH INDUSTRI

Pasal 20

(1)       Pemerintah dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara.
(2)       Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VIII
INDUSTRI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 21

(1)       Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.
(2)       Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri.
(3)       Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.


BAB IX
PENYERAHAN KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI

Pasal 22

Penyerahan kewenangan tentang pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

Penyerahan urusan dan penarikannya kembali mengenai bidang usaha industri tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 24

(1)       Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
(2)       Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
Pasal 25

Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 26

Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut Izin Usaha Industrinya.

Pasal 27

(1)       Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2)       Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kuruangan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 28

(1)       Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ayat (1) adalah kejahatan.
(2)       Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (2) adalah pelanggaran.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Bedrijfsreglementerings-ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 Nomor 86) dinyatakan tidak berlaku lagi bagi industri. 

Pasal 31

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
            Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.</COMP> 
 
 
<COMP NAME=tanggal>Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 1984</COMP>

<COMP NAME=akhir>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 1984
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SUDHARMONO, S.H.</COMP>
 
 



<COMP NAME=catatan>            CATATAN
 
Kutipan:         LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1984 YANG TELAH DICETAK ULANG</COMP>
Sumber:<COMP NAME=sumber>LN 1984/22; TLN NO. 3274</COMP>

Rabu, 04 Juni 2014

Hak Paten, Hukum Industri

Istilah paten berasal dari bahasa Inggris “patent” yang bersumber dari  bahasa latin patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan atau  diketahui pihak lain)
• Istilah ini mulai populer sejak munculnya letters of patent yaitu surat keputusan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan  pelaku bisnis tertentu
• 1623 Raja James I memberlakukan “Statute of Monopolies” yang mengatur pemberian paten hanya kepada temuan-temuan baru dimaksudkan untuk mendorong inventor agar mau membuka temuan atau pengetahuannya demi kemajuan masyarakat
• Paten pertama di Amerika Serikat diberikan tanggal 30 Juli 1790 atas penemuan metode produksi garam abu (potassium carbonate)  Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan untuk  negara lain yang tergabung dalam Paris Convention for Protection fo Industrial Property (Paris Convention) atau Agreement Establishing World Trade Organization (WTO Agreement)  hak bagi pemohon untuk mengajukan permohonan paten yang sudah didapatkan di negaranya, di negara-negara yang meratifikasi Paris Convention dan WTO AgreementDalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
1.  Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidangteknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1Undang-undang Paten).
 2. Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
 3. Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
Berdasarkan Undang-undang.
1.                  Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

2.                  Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.

3.                  Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi.
4.                  Pemohon adalah pihak yang mengajukan Permohonan Paten.

5.                  Permohonan adalah permohonan Paten yang diajukan kepada Direktorat Jenderal.

6.                  Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten.

7.                  Kuasa adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

8.                  Pemeriksa adalah seseorang yang karena keahliannya diangkat dengan Keputusan Menteri sebagai pejabat fungsional Pemeriksa Paten dan ditugasi untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.

9.                  Menteri adalah menteri yang membawahkan departemen yang salah satu tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Paten.

10.              Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.

11.              Tanggal Penerimaan adalah tanggal penerimaan Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif.

13.              Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention tersebut Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

14.              Hari adalah hari kerja.
Bagian Pertama

Invensi yang Dapat Diberi Paten


Pasal 2



(1)               Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri.

(2)               Suatu Invensi mengandung langkah inventif jika Invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya.

(3)               Penilaian bahwa suatu Invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak Prioritas.


Pasal 3



(1)               Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.

(2)               Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum:

a.                   Tanggal Penerimaan; atau

b.                  tanggal prioritas.

(3)               Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan.

Pasal 4 …
Pasal 4



(1)               Suatu Invensi tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan:

a.                   Invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi;

b.                  Invensi tersebut telah digunakan di Indonesia oleh Inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan.

(2)               Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan Invensi tersebut.


Pasal 5



Suatu Invensi dapat diterapkan dalam industri jika Invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan dalam Permohonan.


Pasal 6



Setiap Invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk Paten Sederhana.

Pasal 7


Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang:

a.                   proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b.                  metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;

c.                   teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau

d.                 i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik;

ii.                  proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.

Bagian Kedua …
Jangka Waktu Paten


Pasal 8



(1)               Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.

(2)               Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatat dan diumumkan.


Pasal 9



Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang.


Bagian Ketiga

Subjek Paten


Pasal 10



(1)               Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.

(2)               Jika suatu Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.


Pasal 11



Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali dinyatakan sebagai Inventor dalam Permohonan.


Pasal 12

(1)               Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain.

(2)               Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menghasilkan Invensi.

(3)               Inventor Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut.
(4)               Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan:

a.                   dalam jumlah tertentu dan sekaligus;

b.                  persentase;

c.                   gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;

d.                  gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau

e.                   bentuk lain yang disepakati para pihak;

yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

(5)               Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga.

(6)               Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten.


Pasal 13



(1)               Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan lain dalam Undang-undang ini, pihak yang melaksanakan suatu Invensi pada saat Invensi yang sama dimohonkan Paten tetap berhak melaksanakan Invensi tersebut sebagai pemakai terdahulu sekalipun terhadap Invensi yang sama tersebut kemudian diberi Paten.

(2)               Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Permohonan yang diajukan dengan Hak Prioritas.


Pasal 14



Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak berlaku apabila pihak yang melaksanakan Invensi sebagai pemakai terdahulu melakukannya dengan menggunakan pengetahuan tentang Invensi tersebut dari uraian, gambar, atau keterangan lainnya dari Invensi yang dimohonkan Paten.




Pasal 15



(1)               Pihak yang melaksanakan suatu Invensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 hanya dapat diakui sebagai pemakai terdahulu apabila setelah diberikan Paten terhadap Invensi yang sama, ia mengajukan permohonan untuk itu kepada Direktorat Jenderal.