1.
Pertentangan Sosial dan Integrasi Masyarakat
Hidup bermasyarakat adalah hubungan antar
individu-individu maupun antar kelompok dan golongan yang terjadi dalam proses
kehidupan. Hidup bermasyarakat juga berarti kehidupan dinamis, dimana setiap
anggota masyarakat salaing berinteraksi, member dan menerima (take and give).
Hubungan antar individu ini pun diikat oleh ikatan yang berupa norma serta
nilai-nilai yang telah dibuat bersama para anggota. Norma dan nilai-nilai
inilah yang menjadi alat pengendali agar para anggota masyarakat tidak terlepas
dari rel ketentuan yang telah disepakati itu. Solidaritas, toleransi dan
tenggang rasa adalah bukti kuatnya ikatan itu. Sakit salah satu anggota
masyarakat akan dirasakan oleh anggota masyarakat lainnya. Dari hubungan
seperti itulah lahir keharmonisan dalam hidup bermasyarakat.
Pada kenyataannya tidak semua masyarakat membentuk
sebuah harmonisasi. Pada kondisi-kondisi tertentu hubungan antara masyarakat
diwarnai berbagai persamaan. Namun sering juga didapati perbedaan-perbedaan,
bahkan pertentangan dalam masyarakat. Hal-hal seperti itulah yang menimbulkan
perpecahan dalam masyarakat.
a. Perbedaan Kepentingan
Perbedaan kepentingan sebenarnya merupakan sifat
naluriah disamping adanya persamaan kepentingan. Bila perbedaan kepentingan itu
terjadi pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada kelompok etnis, kelompok
agama, kelompok ideology tertentu termasuk antara mayoritas dan minoritas.
Maksudnya adalah pendapat atau kepentingan seseorang yang berbeda dengan yang
lainnya. Terkadang bisa menyebabkan perdebatan yang bisa berakhir secara damai
atau sebaliknya berakhir secara anarkis.
Namun jika dicermati, perbedaan kepentingan dapat
disiasati dengan saling bertoleransi dan meningkatkan solidaritas antar
masyarakat agar bisa tetep hidup berdampingan dalam suasana yang harmonis.
b. Prasangka Diskriminasi dan Ethosentris
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum
mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini
merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki
informasi yang relevan yang bisa dijadikan
dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada
bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk
akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional.
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam
tiga kategori :
-
Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
-
Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
-
Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam
bertindak.
Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka
dan dalam kebanyakan masyarakat tidak disetujui.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak
adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai
dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan
manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secaratidak adil karena karakteristik suku, antargolongan,
kelamin, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan
dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum,
peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu,
seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang
yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan
yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan
Diskriminasi di tempat kerja. Diskriminasi dapat
terjadi dalam berbagai macam bentuk: dari struktur gaji, cara
penerimaan karyawan, strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan,
atau kondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti mencegah
seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa
mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar pada
pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol produktivitas
pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung menyandarkan diri pada
karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau jenis kelamin,
sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota dari kelompok tertentu
memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
Ethosentris
Etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung
bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu
memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang
telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging
(internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung
dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu:
1.
etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang
cenderung bersifat
subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku
orang lain,
1.
Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung
menilai tingkah
laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang
budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain
c. Pertentangan Sosial Ketergangan Dalam Masyarakat
Pertentangan-Pertentangan Sosial / Ketegangan Dalam
Masyarakat
Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian
tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa dibayangkan orang dengan
mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dasar konflik
berbeda-beda. Terdapat 3 elemen dasar yang merupakan cirri-ciri dari situasi
konflik yaitu :
- Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau
baigan-bagianyang terlibat di dalam konflik
- Unti-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan
yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah,
nilai-nilai, sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan
- Terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang
mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan
dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengannya, misalnya
kebencian atau permusuhan. Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling
kecil yaitu individu, sampai kepada lingkungan yang luas yaitu masyarakat :
Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk
kepada adanya pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan
yang antagonistic didalam diri seseorang.
Pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik
yang terjadi dalam diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota
kelompok dalam tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan norma-norma, motivasi-motivasi
mereka untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
Para taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada
perbedaan di antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan
nilai-nilai an norma-norma kelompok yang bersangkutan
berbeda.Perbedan-perbedaan dalam nilai, tujuan dan norma serta minat,
disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan sumber-sumber
sosio-ekonomis didalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang aa dalam
kebudayaan-kebudayaan lain.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
1. Elimination; yaitu
pengunduran diri salah satu pihak yang telibat dalam konflik yagn diungkapkan
dengan : kami mengalah, kami mendongkol, kami keluar, kami membentuk kelompok
kami sendiri
2. Subjugation atau
domination, artinya orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat
memaksa orang atau pihak lain untuk mentaatinya
3. Mjority Rule artinya
suara terbanyak yang ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan, tanpa
mempertimbangkan argumentasi
4. Minority Consent;
artinya kelompok mayoritas yang memenangkan, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta sepakan untuk melakukan kegiatan
bersama
5. Compromise; artinya
kedua atau semua sub kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari dan
mendapatkan jalan tengah
6. Integration; artinya
pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan dan ditelaah
kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi semua
pihak.
Contoh kasus :
Kerusuhan yang terjadi dimesir merupakan salah satu
contoh pertentangan sosial yang membuat semua warganya mengeambil langkah
ekstrim yaitu melawan pemerintah, merupakan salah satu contoh dari pertentangan
sosial dan menunjukkun bentuk reaksi dari masyarakat sosial itu sendiri.
d. Golongan-golongan Yang Berbeda Dan Integrasi Sosial
Masyarakat majemuk dan Nasional Indonesia
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat
majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang
dipersatukan oleh kekuatan nasional yang berwujud Negara Indonesia. Untuk lebih
jelasnya dikemukakan aspek dari kemasyarakatan tersebut:
- Suku bangsa dan kebudayaan, Indonesia terdiri dari
sejumlah suku bangsa dengan berbagai kebudayaan.
- Agama, Indonesia memiliki toleransi yang besar
terhadap berbagai kepercayaan.
- Bahasa, pada suku-suku bangsa yang bermacam-macam
itu terikat oleh bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
- Nasional Indonesia, adalah merupakan kesatuan
solidaritas yang terbentuk sebagai hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa inggris ”integration” yang
berarti kesempurnaan atau keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan
masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki
keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan
di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap
kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan
mereka masing-masing.
Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
-
Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam
suatu sistem sosial tertentu.
-
Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.
Sedangkan yang disebut integrasi sosial adalah jika yang
dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur
sosial atau kemasyarakatan. Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat
tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik
maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.
Menurut pandangan para penganut
fungsionalisme struktur sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas dua
landasan berikut :
Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya konsensus (kesepakatan) di antara sebagian besar anggota
masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental
(mendasar)
Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota
masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial
(cross-cutting affiliation). Setiap konflik yang terjadi di antara kesatuan
sosial dengan kesatuan sosial lainnya akan segera dinetralkan oleh adanya
loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap
berbagai kesatuan sosial.
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat
terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara
berbagai kelompok. Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar
masyarakat memiliki kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai,
norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Bentuk Integrasi Sosial :
-
Asimilasi, yaitu pembauran Kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas
kebudayaan asli.
-
Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan
kebudayaan asli.
Faktor-Faktor Pendorong :
A. Faktor Infernal :
- Kesadaran diri sebagai makhluk sosial
- Tuntutan kebutuhan
- Jiwa dan semangat gotong royong
B. Faktor External :
- Tuntutan perkembangan zaman
- Persamaan kebudayaan
- Terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan
bersama
- Persaman visi, misi, dan tujuan
- Sikap toleransi
- Adanya kosensus nilai
- Adanya tantangan dari luar
Syarat Berhasilnya Integrasi Sosial :
1.
Untuk meningkatkan Integrasi Sosial, Maka pada diri
masing-masing harus mengendalikan perbedaan/konflik yang ada pada suatu
kekuatan bangsa dan bukan sebaliknya.
2.
Tiap warga masyarakat merasa saling dapat mengisi
kebutuhan antara satu dengan yang lainnya.
E. Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah kerjasama dari seluruh
anggota masyarakat, mulai dari individu, keluarga, lembaga-lembaga masyarakat
dan masyarakat secara keseluruhan.
Integrasi nasional akan lahir jika integrasi sosial
dalam masyarakat berjalan dengan baik. Kesempurnaan dalam integrasi sosial
sebuah masyarakat akan membentuk kekuatan suatu bangsa. Perbedaan pendapat,
keyakinan, suku, ras dan budaya dapat diatas dengan tingginya solidaritas dan
tenggang rasa antar masyarakat. Sudah barang tentu integrasi nasional akan
terbentuk dengan sendirinya.
Source :
1. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Pengertian ilmu yang
terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara
mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak
berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas
pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada
bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Adapun beberapa
definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005
diantaranya adalah :
• Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
• Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
• Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
• Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
• Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
• Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
• Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
• Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
• Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
• Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
• Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
• Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi
di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan
pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun,
baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah
informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme
tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan
pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian
pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka
(Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran
pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika
deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme.
Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai
dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
“ Ilmu pengetahuan”
lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari dua kata, “ ilmu “
dan “ pengetahuan “, yang masing-masing punya identities sendiri-sendiri.
Dikalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun
dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek)
tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum dan
akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana
karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya pandangan
Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan
dapat merangsang budi. Dan oleh Bacon & David Home pengetahuan diartikan
sebagai pengalaman indera dan batin.
Ilmu pengetahuan pada
dasarnya memiliki tiga komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya
yaitu ; ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Epistemologis hanyalah
merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh
ilmu pengetahuan. Ontologis dapat diartikan hakekat apa yang dikaji oleh
pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup ujud yang menajdi objek
penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologism merupakan objek formal dari
suatu pengetahuan. Komponen aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan
atau fungsi dari ilmu pengetahuan.
Pembentukan ilmu akan
berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek
material sebagai bahan yang menadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta
objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang menjadi
pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi
rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu
kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk
sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir
analitis, sistesis, induktif dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian
kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal
yang merupakan pengingkaran.
2. SIKAP ILMIAH
Sikap ilmiah yang
dimaksud adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang peneliti.
Untuk dapat melalui proses penelitian yang baikdan hasil yang baik pula,
peneliti harus memiliki sifat-sifat berikut ini.
1) Mampu Membedakan
Fakta dan Opini
Fakta adalah suatu
kenyataan yang disertai bukti-bukti ilmiah dandapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, sedangkan opini adalahpendapat pribadi dari seseorang yang
tidak dapat dibuktikankebenarannya sehingga di dalam melakukan studi kepustakaan,
seorangpeneliti hendaknya mampu membedakan antara fakta dan
opini agarhasil penelitiannya tepat dan akurat serta dapat
dipertanggungjawabkankebenarannya.
2)Berani dan Santun
dalam Mengajukan Pertanyaan dan Argumentasi
Peneliti yang baik
selalu mengedepankan sifat rendah hati ketikaberada dalam satu
ruang dengan orang lain. Begitu juga pada saatbertanya, berargumentasi,
atau mempertahankan hasil penelitiannya akansenantiasa menjunjung tinggi
sopan santun dan menghindari perdebatansecara emosi. Kepala tetap dingin,
tetapi tetap berani mempertahankankebenaran yang diyakininya karena yakin
bahwa pendapatnya sudahdilengkapi dengan fakta yang jelas sumbernya.
3) Mengembangkan
Keingintahuan
Peneliti yang baik
senantiasa haus menuntut ilmu, ia selalu berusahamemperluas
pengetahuan dan wawasannya, tidak ingin ketinggalaninformasi di segala
bidang, dan selalu berusaha mengikuti perkembanganilmu pengetahuan yang
semakin hari semakin canggih dan modern.
4) Kepedulian terhadap
Lingkungan
Dalam melakukan
penelitian, peneliti yang baik senantiasa peduliterhadap lingkungannya
dan selalu berusaha agar penelitian yangdilakukannya membawa dampak yang
positif bagi lingkungan dan bukan sebaliknya.
TEKNOLOGI
Teknologi adalah
pemanfaatan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengerahkan semua
alat yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan skala nilai yang ada.
Teknologi bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis serta untuk
mengatasi semua kesulitan yang mungkin dihadapi.
Selain menimbulkan dampak positif bagi kehidupan manusia, terutama mempermudah pelaksanaan kegiatan dalam hidup, teknologi juga memiliki berbagai dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara baik. Contoh masalah akibat perkembangan teknologi adalah kesempatan kerja yang semakin kurang sementara angkatan kerja makin bertambah, masalah penyediaan bahan-bahan dasar sebagai sumber energi yang berlebihan dikhawatirkan akan merugikan generasi yang akan datang.
Selain menimbulkan dampak positif bagi kehidupan manusia, terutama mempermudah pelaksanaan kegiatan dalam hidup, teknologi juga memiliki berbagai dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara baik. Contoh masalah akibat perkembangan teknologi adalah kesempatan kerja yang semakin kurang sementara angkatan kerja makin bertambah, masalah penyediaan bahan-bahan dasar sebagai sumber energi yang berlebihan dikhawatirkan akan merugikan generasi yang akan datang.
Dalam konsep yang
pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan bahwa
pengetahuan (body ofknowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of arts
) yang mengandung pengetian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara
bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan
dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup
penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi
sosial, terutama teknoogi sosial pembangunan (the social technology of
development) sehingga teknologi itu adalah merode sistematis untuk mencapai
tujuan insani (Eugene Stanley, 1970).
Teknologi
memperlihatkan fenomenanya alam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki
otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis.
Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “the technological society” (1964)
tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun artinya sama. Menurut Ellul
istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk
memperoleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional
dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap
bidang aktivitas manusia. Jadi teknologi penurut Ellul adalah berbagai usaha,
metode dan cara untuk memperoleh hasil yang distandarisasi dan diperhingkan
sebelumnya.
Dari perspektif
sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah
satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan
semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material
kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang
memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia, yaitu
perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah
manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.
FENOMENA TEKNIK
Fenomena teknik pada
masyarakat masa kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagia
berikut :
1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis
4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
7. otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis
4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
7. otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang
berkembang degnan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya
bidang teknik digambarkan sebagaia berikut :
1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi
2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer
3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi
2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer
3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
NILAI
Untuk memahami
pengertian nilai secara lebih dalam, berikut ini akan disajikan sejumlah
definisi nilai dari beberapa ahli.
“Value is an enduring
belief that a specific mode of conduct or end-state of existence is personally
or socially preferable to an opposite or converse mode of conduct or end-state
of existence.” (Rokeach, 1973 hal. 5)
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)
“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity.” (Schwartz, 1994 hal. 21)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
“Value is a general beliefs about desirable or undesireable ways of behaving and about desirable or undesireable goals or end-states.” (Feather, 1994 hal. 184)
“Value as desireable transsituatioanal goal, varying in importance, that serve as guiding principles in the life of a person or other social entity.” (Schwartz, 1994 hal. 21)
Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Berdasarkan beberapa
pendapat tersebut, terlihat kesamaan pemahaman tentang nilai, yaitu (1) suatu
keyakinan, (2) berhubungan dengan cara bertingkah laku dan tujuan akhir
tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai
cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan
sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Pemahaman tentang
nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk.
Schwartz berpandangan bahwa nilai merupakan representasi kognitif dari tiga
tipe persyaratan hidup manusia yang universal, yaitu :
1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994).
1. kebutuhan individu sebagai organisme biologis
2. persyaratan interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal
3. tuntutan institusi sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Schwartz & Bilsky, 1987; Schwartz, 1992, 1994).
KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya
dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan,
pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. Garis kemiskinan yang menentukan batas
minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi
oleh tiga hal :
1.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan2.
Posisi manusia dalam lingkungan sekitar3. Kebutuhan
objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawiPersepsi manusia terhadap
kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat
istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalamhal ini garis kemiskinan dapat
tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan
ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi
pendapatannya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia
untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah
benilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat
umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan yang
dialaminya.
Berdasarkan ukuran ini
maka mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai
berikut :
1. Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan. Dll
2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan ataua modal usaha
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
1. Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan. Dll
2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan ataua modal usaha
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
FUNGSI KEMISKINAN
Jika kita menganut
teori fungsionalis dan statistika (Davis), maka kemiskinan memiliki sejumlah
fungsi :
1. Fungsi ekonomi : penyediaan dana untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana sosial, membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas.
2. Fungsi sosial : menimbulakan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan merangsang munculnya badan amal.
3. Fungsi kultural : sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya saling mengayomi antara sesama manusia.
1. Fungsi ekonomi : penyediaan dana untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana sosial, membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas.
2. Fungsi sosial : menimbulakan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan merangsang munculnya badan amal.
3. Fungsi kultural : sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya saling mengayomi antara sesama manusia.
Bagi masyarakat sipil, posisi rakyat teramat sentral dalam menentukan
kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Menurut Abdurahman Wahid, pihak yang
harus menentukan kepentingan rakyat adalah rakyat sendiri, bukan yang lain.
Pemberian peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi secara benar dalam
kehidupan bernegara, merupakan sesuatu yang esensial, tidak bisa ditinggalkan
lagi dan tidak bisa diserahkan kepada raja, khalifah atau kepada siapa pun
kecuali kepada rakyat itu sendiri.1700
Dengan pemahaman posisi agama dan negara yang telah dipaparkan tadi,
dikaitkan dengan pandangan Abdurahman Wahid, tampaknya agama bisa berperan
sebagai sumber vitalitas demokratisasi. Agama akan menjadi sumber inspirasi dan
sumber kekuatan upaya empowerment elemen masyarakat di luar negara, yakni
rakyat ketimbang diperalat untuk mengikuti naluri kekuasaan yang korup dan
otoritarian. Agama menafasi kebijakan politik untuk mengakui, menerima dan
menghargai setiap komponen masyarakat. Karena itu, kekristenan tidak menjadikan
agama super ordinasi negara, sub ordinasi negara, atau juga pengidentikkan
agama itu adalah negara atau negara itu agama.
Secara hakiki nilai dasar masyarakat sipil adalah pembatasan penguasaan
wilayah kehidupan yang dikuasai serba negara. Civil society ingin menciptakan
ventilasi yang memberikan iklim sejuk dalam kehidupan yang lebih demokratis.
Terbukti selama beberapa orde yang melekat pada rezim yang berkuasa, sirkulasi
udara demokratis tidak bertiup dengan segar dan lancar. Malah mewariskan udara
yang pengap dan polusif.
Merunut sejenak historisnya, barangkali embrio masyarakat sipil menemukan
jejak langkah awalnya dimulai masa pencerahan pada abad XVIII. Para intelektual
seperti Montesquieu, Volatire, dan kawan-kawan melepaskan kehidupannya dari
belitan ketergantungan pada patronase gereja dan negara. Mereka berupaya
mandiri lewat memproduksi bacaan publik yang konsumennya kalangan menengah,
pendeta dan aristokrat. Mereka gandrung untuk mengopinikan adanya kebutuhan
reformasi masyarakat berupa kebebasan berpikir menggantikan sensor yang
otoriter dan indoktrinasi Gereja.1701 Dengan kata lain, secara embrional
ternyata civil society merupakan perlawanan atas struktural sosial yang tidak
kondusif bagi aktualisasi nilai-nilai hakiki kemanusiaan dan demokrasi.
Prestasi terbesar pencerahan adalah konsepsi egalitarian dan ruang
partisipatori di kuak lebar-lebar, di mana tidak satu pun warga negara terampas
dari hak-hak sipilnya. Suatu masyarakat yang nilai-nilai ideal kesetaraan dan
partisipasi dipraktikkan. Suatu gerakan sosial politik yang bertujuan
memulihkan martabat manusia, melengserkan mereka yang membangun struktur
kekuasaan dan eksploitasi, yang mengatasnamakan Allah. Suatu gerakan yang
menanamkan tanggung jawab untuk bisa menyatakan mana yang sungguh-sungguh
berasal dari Allah, dan mana yang bukan, menjadi kesadaran moral rakyat.1702 Dengan menyatakan ini, secara historis
agama Kristen pernah dan bisa menjadi musuh masyarakat sipil (bahkan saya
berkeyakinan agama manapun, dan itu telah dibuktikan dalam sejarah setiap
agama), pada saat agama melekateratkan dengan struktur politik.
Belajar dari kekeliruan sejarah itu, kekristenan sadar betul di mana
posisinya. Sekaligus sadar mengenai bahaya riil ketika manusia yang berkuasa
atas manusia yang lain, mengangkat diri menjadi "allah" atas
sesamanya, dengan menuntut ketaatan yang mutlak, dan merampas independensi
manusia. Sebuah kesadaran bahwa kelahiran negara harus diantisipasi karena
mempunyai ekses destruktif seperti: persaingan, kesewenang-wenangan, mabuk
kekuasaan, konflik, perpecahan serta kehancuran. Karena itu agama perlu
menciptakan rambu-rambu yang bisa membatasi dan mengontrol negara.1703 Serta segala sistim kekuasaan baik
politis, ekonomis, dan agamis yang memberikan ruang pada sedikit elit untuk
menguasai, menghisap, dan mengeksploitasi orang lain, harus dikembalikan pada
pembacaan ulang Alkitab secara sungguh-sungguh dan membacanya pun harus dengan
iman.1704
Jadi, kebutuhan penguatan civil society merupakan salah satu pilihan
sengaja agar bisa mencegah negara menyeleweng dari tugas dan hakekatnya yang
sejati.1705Masyarakat sipil bisa menjadi representasi dan kristalisasi kekuatan di
luar negara, yang menjadi sparing partner negara. Hal itu menjadikan civil
society sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kontrol, yang membatasi dan
memungkinkan negara tetap berjalan sesuai dengan hakekatnya. Dalam hal ini
keterlibatan kekristenan sebagai bagian dari civil society salah satunya supaya
seperti yang dinyatakan Eka Darma Putera, "Negara akan menjadi kekuatan
yang efektif untuk mencegah anarki, tetapi berubah menjadi tirani"."
Selain itu, dengan masyarakat sipil menjadi indikasi ada wilayah-wilayah yang
bisa digarap entitas mandiri di luar negara. Dengan demikian, segala energi,
prakarsa, aktivitas dalam kehidupan masyarakat tidak terkonsentrasi dan
tersentralisasi hanya pada negara semata-mata.
FUNGSI AGAMA
Fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek yaitu kebudayaan, sistem
sosial dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena
sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga
timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem,
apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh
manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
itu timbul sebab sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai
fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Sebagai kerangka acuan penelitian empiris, teori fungsional memandang
masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang seimbang. Manusia mementaskan dan
menolakan kegiatannya menurut norma yang berlaku umum, peranan serta
statusnya.
teori fungsional dalam melihat kebudayaan pengertiannya adalah, bahwa
kebudayaan itu berwujud suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang beriteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya, setiap
saat mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat teta kelakuan, bersifat
konkret terjadi di sekeliling. Dalam hal ini kebudayaan menentukan situasi dan
kondisi bertindak, mengatur dengan sistem sosial berada dalam batasan sarana
dan tujuan, yang dibenarkan dan yang dilarang. Kemudian agama dengan referensi
transendensi merupakan aspek penting dalam fenomena kebudayaan sehingga timbul
pertanyaan, apakah posisi lembaga agama terhadap kebudayaan merupakan suatu
sistem.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana masalah fungsional dalam konteks
teori fungsional kepribadian, dan sejauh mana agama mempertahankan keseimbangan
pribadi melakukan fungsinya. Kepribadian dalam hal ini merupakan suatu
dorongan, kebutuhan yang kompleks, kecenderungan, memberikan tanggapan serta
nilai dsb yang sistematis. Kepribadian sudah terpola melalui proses belajar dan
atas otonominya sendiri. Sebagai ilustrasi sistem kepribadian adalah Id, Ego
dan Superego yang ada dalam situasi yang terstruktur secara sosial.
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial yang dominan
dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama dan termasuk konflik sosial.
Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan mendasar yang
dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak menguntik hakikat
apa yang ada di luar atau referensi transendental (istilah Talcott parsons).
Aksioma teori fungsional agama adalah, segala sesuatu yang tidak berfungsi
akan lenyap dengan sendirinya, karena agama sejak dulu sampai saat ini masih
ada, mempunyai fungsi, dan bahkan memerankan sejumlah fungsi. Teori
fungsionalis agama juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan
pengalaman” (referensi transendental) sebagai dasar dari karakteristik dasar
eksistensi manusia meliputi:
1. Manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; hal
penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada di luar jangkauannya
2. Kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan
mempengaruhi kondisi hidupnya terbatas, dan pada titik dasar tertentu kondisi
manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan ditandai oleh
ketidak berdayaan.
3. Manusia harus hidup bermasyarakat dimana ada alokasi
yang teratur dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran. Ini mencakup
pembagian kerja dan produk. Dalam hal ini tentu masyarakat diharuskan berada
dalam kondisi imperatif, yaitu ada suatu tingkat superordinasi dan subordinasi
dalam hubungan manusia. Kelangkaan ini menimbulkan perbedaan distribusi barang
dan nilai, dengan demikian menimbulkan deprivasi relatif.
Jadi seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia
untuk mengatasi diri dari ketidak pastian, ketidakberdayaan dan kelangakaan dan
agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur
tersebut.
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan
yang bersifat sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan
memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan
supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka.
DIMENSI KOMITMEN AGAMA
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen
agama. Dimensi agama, menurut Roland Robertson (1984), diklasifikasikan berupa
keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan
bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia
akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan
berbakti yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua
agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada
suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif realitas
tertinggi, mampu berhubungan meskipun singkat dengan suatu perantara yang
supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa
orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang
ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda
dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
3 TIPE KAITAN AGAMA DENGAN MASYARAKAT
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
1.
Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sacral. Masyarakat tipe ini
kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama.
Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok keagamaan
adalah sama.
2.
Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang berkembang. Keadaan
masyarakat tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai
dalam tipe masyarakat ini. Dan fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-
upacara tertentu.
3.
Masyarakat- masyarakat industri secular. Masyarakat industri bercirikan
dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan,
sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang
penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi
agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan
metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah
kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak
masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan
tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan
kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
PELEMBAGAAN AGAMA
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing,
membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.Agama begitu univeersal ,
permanan (langgeng) , dan mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami
agama , akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami
lembaga agama adalah , apa dan mengapa agama ada , unsur-unsur dan bentuknya serta
fungsi dan struktur agama. Contohnya adalah MUI. MUI berdiri sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama
yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang
merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah ,
Syarikat Islam , Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar , GUPPI , PTDI , DMI dan
Al Ittihadiyyah , 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang
merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah
kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang
ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional Ulama I.
Sejarah
mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi
melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan.
Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga
agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut
saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering
membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut)
yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru
ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa
baru.
Kasus-kasus itu
tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga
terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia
“tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde
baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap
kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku,
terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah.
Namun ternyata
masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu
agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap
kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas
itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku,
yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis,
umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula
pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah
dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan
siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif.
Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi
kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desa – desa.
Demi pariwisata
yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka
upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan
di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan
dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman
air dan pupuk yang segar.
Anehnya sebab
bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu
dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya
dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup
yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu
yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini
semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik”
dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
Agama sangat
universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami
agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam
memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya
serta fungsi dan struktur dari agama.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.Masyarakat yang Terbelakang dan
Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe
ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama
yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok
keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain.
Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam
sistem masyarakat secara mutlak.
2. Nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan
menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama menjadi fokus utama
pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan yang berasal dari
keluarga yang belum berkembang.
b.Mayarakat-masyarakat Praindustri yang
Sedang Berkembang
Masyarakatnya
tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan
kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang
sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan
upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan
terhadap adat-istiadat.
Pendekatan
rasional terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan
berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu
akan kurang baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih
banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan
di luar jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang
kuat, dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama
yang sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui
wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi
kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya,
tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang
memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan
dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua
kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan
manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat
keagamaan.
Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan
adatif.
Pengalaman
tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis
kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan
pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas
pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami
“wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi
dari pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai
asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya
organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah
haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti
Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya.
Organisasi
keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh
kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah,
sebuah organisasi sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang
menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran
telah memberi inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari
kaum” mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi
’anil munkar)
Dari contoh
sosial di atas, lembaga keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide,
ketentuan (keyakinan), dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi.
Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan
(ibadat), dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
5) Contoh dan kaitannya tentang konflik yang ada dalam agama dan
masyarakat:
Contoh-contoh dan kaitannya tentang konflik yang ada dalam agama dan
masyarakat didalam masyarakat terdapat perbedaan agama yang dianut dari
masing-masing individu namun diantara mereka tidak saling menghargai dalam
perbedaan agama tersebut , dan akan timbul permasalahan seperti:
o Konflik perbedaan
pendapat tentang agama.
o Perpecahan.
o Peperangan antar
agama.
o Pelecehan Agama.
o dll.
SUMBER